Alternatif baru untuk menikmati akhir pekan di Surabaya kini sudah bertambah, selain kita bisa menikmati mall atau café/restoran. Kita bisa berjalan kaki di tengah kota untuk menikmati hasil kerja keras pemkot Surabaya untuk mempercantik jalan Tunjungan serta di sekitaran Monkasel.
Wilayah tersebut kini semakin bersih dan saat malam hari terdapat lampu-lampu cantik yang menghiasi. Semakin bangga tentunya tinggal di kota ini kan?
Adalagi tempat menarik untuk bersantai yang dekat Surabaya, namanya O Jamur. Letaknya di Jl. Brigjend Katamso 270, Waru. Persisnya 500 m sebelum Rewwin kalau kita dari arah pabrik paku.
Tempat ini patut saya rekomendasikan, karena menawarkan suasana yang sejuk dan teduh, karena terdapat kolam ikan dan angsa serta banyaknya pohon yang tertata rapi. Dari namanya kita bisa simpulkan bahwa menu andalan adalah jamur, yang dapat kita nikmati dalam bentuk tumis, goreng atau yang sudah berwujud snack :), selain itu terdapat petak khusus untuk budidaya jamur yang digunakan untuk bahan baku utama.
Kita bisa duduk lesehan atau di kursi yang terbuat dari kayu serta bamboo yang nyaman, sambil melihat pemandangan hijau memanjakan mata.
Yang namanya weekend, di otak pastinya sudah berpikir mau kemana ya??
Saya dan istri pun mengalaminya :), setelah ngobrol ngalor ngidul, akhirnya kita sepakat ke Bangkalan. Ya, salah satu kota di pulau Madura tersebut menjadi pilihan karena jarak yang dekat dari Surabaya sehingga tidak perlu bermalam.
Dua lokasi yang kami pilih adalah bukit Jaddih dan mercusuar Sembilangan, keduanya ada di Bangkalan. Kami ke sana menggunakan sepeda motor via jembatan Suramadu. Bukit Jaddih kami tempuh dari Surabaya pusat sekitar 45 menit, ketika sampai di lokasi pintu Suramadu sisi Madura sekitar 500 meter kiri jalan ada jalan kecil di belakang warung souvenir kita bisa lewati (khusus sepeda motor) untuk menuju akses desa Labang, kalau menggunakan mobil pasti tidak bisa (kita harus lewat kota Bangkalan).
Lokasi bukit ini merupakan tambang batu kapur yang masih beroperasi, yang sebagian juga dibuka untuk wisata alam serta ada juga kolam renang. Untuk mencapai puncaknya kita bisa membawa kendaraan kita, setelah parkir kita hanya perlu jalan kaki 5 menit dan bisa segera berfoto-foto dengan view yang cukup bagus.
Selanjutnya, saya dan istri meluncur ke mercusuar Sembilangan. Berjarak sekitar 20km, kami tempuh sekitar 30 menit, jalanan aspal sangat bagus dan sepi, sehingga kami berdua sangat menikmatinya.
Mercusuar ini sekarang di tutup akses untuk naik sampai puncak, saya sudah tanya petugas yang jaga, info nya sih masih ada pembahasan di tingkat pusat mengenai aturan di lokasi dan siapa yang berhak mengelola (antara kemenhub atau TNI AL?). Dari sini kita bias melihat lalu lalang kapal cargo yang masuk ke Perak.
Setelah itu, kami kembali ke Surabaya lewat Kamal karena lokasi yang lebih dekat dibandingkan ke Suramadu.
Museum angkut kini menjadi pilihan yang menarik untuk berwisata ke Batu, karena menawarkan koleksi unik kendaraan bermotor baik mulai pabrikan Amerika, Eropa hingga Asia yang lengkap. Usia koleksi nya pun tergolong tua, karena ada yang di produksi di bawah tahun 1960.
Entah siapa yang punya koleksi tersebut, yang pasti dua jempol saja tidak cukup. Kenapa? Suatu bisnis yang dilatar belakangi hobi pasti menyenangkan, apalagi bisnis tersebut menghasilkan profit yang mengggiurkan. Pemilik museum angkut pun demikian, dengan kolekasi yang lengkap, lahan yang luas serta perencanaan yang matang, dia mampu mewujudkan sebuah oase di tengah kota Batu yang identik dengan Jatim Park dan Songgoriti, dia mampu berinovasi dengan menyajikan tempat ‘cuci mata’ yang unik sekaligus mengandung unsur edukasi bagi pengunjung.
Tempat ini tergolong cocok untuk semua usia, jadi anda tidak perlu takut jika bawa anak-anak untuk berjalan-jalan di dalamnya.
Selain koleksi motor dan mobil yang ada, pengelola juga menambahkan unsur budaya bangsa Indonesia melalui museum topeng, pusat jajanan serta beberapa sudut ruang yang di isi dengan kendaraan jadul negeri kita seperti oplet, becak atau delman.
Saya merekomendasikan tempat ini sebagai alternatif tujuan saat anda berwisata ke Batu 🙂
Mungkin bagi saya ini adalah salah satu PR dalam blog ini yang paling sulit, karena saya akan memulai menulis kisah perjalanan yang sudah terlewatkan selama kurang lebih 4 tahun lebih #sambil garuk2 kepala
Ya alhamdulillah, walaupun telat banget tapi akhirnya muncul juga waktu dan kesempatan untuk kembali menuliskan cerita mengenai kegiatan ekspedisi jaman kuliah, kebetulan saya di bulan November 2009 ada kegiatan pendakian di gunung Kilimanjaro-Tanzania. Kegiatan ini merupakan rangkaian pencapaian 7 summit organisasi kampus yang saya ikuti, WANALA UNAIR.
Sepertinya cerita mengenai bagaimana mewujudkan ekspedisi ini saya skip, dan mungkin perlu di bagian dan lain kesempatan. Sekarang saya akan berbagi mengenai perjalanan selama di Afrika, semoga bermanfaat buat yang merencanakan ekspedisi ke Kilimanjaro 🙂
Perjalanan ke Tanzania, kami menggunakan pesawat Emirates dengan rute Jakarta-Dubai-Kenya. Waktu tempuh nya kurang lebih 15 jam, itu termasuk transit di Dubai Int. Airport. Dari Jakarta kami berangkat bersama tim, diantar mas Wik dan mas Rudi, yang selama ini juga membantu menyediakan akomodasi selama karantina di Jakarta.
Di bandara Soekarno Hatta waktu itu, selain airport tax juga harus biaya fiskal yang harus kami bayar sebelum perjalanan ke luar negeri, tapi sekarang sudah dihapuskan. Kalau tidak salah per orang harus bayar 1,5juta. Setelah take off kami menempuh kurang lebih 7 jam ke Dubai untuk transit, tentunya di pesawat ya cukup bosan. Untuk membunuh waktu, kami membaca dan mendengarkan musik, selebihnya ya tidur. Setibanya di Dubai, kami turun pesawat dan harus menunggu kurang lebih 2 jam di dalam bandara. Dan yang bikin kami betah adalah kenyamanan bandara modern ini, yang punya desain bagus dan glassy, dari segi ukuran pun sangat luas (karena sebagai tujuan transit penerbangan internasional). Di bagian toilet pun ada keran air siap minum, sementara papan informasi pun sangat lengkap sehingga kami tidak kesulitan untuk mencarai gate untuk transfer pesawat.
Menuju bandara Nairobi-Kenya, Jomo Kenyatta butuh 6 jam perjalanan. Rasa penasaran dengan lokasi tujuan, selama di dalam pesawat pun terbayarkan ketika kami landing. Kami bertiga (saya, Awang, Ismail) dijemput oleh pak Agam yang merupakan staf KBRI Nairobi. Kemudahan untuk pengurusan visa pun membuat kami lega, walaupun disana menggunakan sistem VOA (Visa On Arrival), tapi kami tidak menyangka secepat itu jika dibantu staf kedutaan.
Dari bandara kami segera meluncur ke rumah dinas kedutaan yang berjarak 30 menit. Selama di mobil kami sangat antusias melihat situasi di kota Nairobi yang merupakan kota terbesar sekaligus ibukota Kenya, sambil berbincang dengan pak Agam. Kami melihat betapa banyaknya burung-burung yang berukuran cukup besar terbang rendah dan hinggap di pepohonan, padahal kalau di Indonesia pasti sudah jadi santapan di piring hehe, ternyata masyarakat di sana sangat menjaga fauna yang hidup termasuk burung, mereka tidak membunuhnya. Kejadian lain yang cukup unik adalah banyaknya lampu lalin yang di beri pelindung dari kawat, yang ternyata bertujuan untuk menjaga amuk mahasiswa yang sering demo dan merusak fasilitas umum. Satu lagi yang bikin geleng-geleng kepala adalah tidak adanya sepeda motor di Nairobi ini, hal ini dikarenakan orang-orang yang kaya tidak mau pakai sepeda motor dan memilih mobil sebagai alat transportasi, sedangkan yang miskin tidak terpikirkan untuk beli kendaraan, karena mereka fokus untuk cari makan sehari-hari. Atas ketimpangan inilah, tindak kriminal disana cukup tinggi, sehingga kami pun tidak bisa jalan-jalan di malam hari atas alasan keamanan.
Lokasi kantor KBRI di Nairobi berada di Menengai Road, Upper Hill. Kami kesana bertujuan untuk ramah tamah dengan pak Budi Bowoleksono yang saat itu masih bertugas disana, tapi sekarang beliau sudah bertugas di AS. Penerimaan yang ramah membuat kami sangat betah, sehingga sewaktu ngobrol kami dapat informasi banyak mengenai keadaan kota dan juga dapat cerita suka duka bertugas di tempat yang jauh dari kampung halaman. Selain itu kami juga menyerahkan souvenir dari kampus sebagai kenang-kenangan.
Setelah selesai, kami beristirahat di rumah dinas kedubes yang lokasinya hanya 10 menit perjalanan dari kantor. Menempati lahan yang luas rumah dinas ini tampak asri dan bersih, dimana di dalamnya terdapat pula guest house, lapangan tenis, serta kolam renang. Di sini juga ada orang Indonesia yang bekerja sebagai kepala dapur, taman serta menjaga anak-anak. Jadi kami walaupun jauh dari rumah, masih bisa menemui lauk asli Indonesia seperti tempe dan tahu berkat sajian makanan yang ada. Malamnya kami tidur sangat nyenyak karena kecapekan dan masih jetlag.
Tidak ada kata terlambat untuk share foto resepsi ini, karena kami merasa perlu mengucapkan terima kasih atas support dan doa teman2, saudara, tetangga, dll yang menyempatkan waktu untuk hadir.
Buat temen kantor saya, maaf tidak ada foto bareng2 karena terlewat saat bacain list untuk sesi foto. Dan saya baru inget saat semuanya udah pada kabur #piss
Acara berjalan dengan lancar alhamdullilah. Pihak dekor, rias, makanan, MC, maupun fotografer bekerja dengan maksimal dan memberikan yang terbaik saat hari H. Semoga pihak-pihak yang membantu lancar resepsi kami, diberikan kesehatan dan dapat job banyak 🙂 Amiin
Alhamdulillah, tepat 6 bulan sudah kami sah menjadi suami istri. Dengan semakin bertambahnya usia perkawinan kami, banyak rencana positif yang kami pikirkan, ya tentunya untuk mengeksekusinya tidaklah mudah tetapi setidaknya dengan kerja keras (dan cerdas) semoga Allah mengabulkan.
Ini adalah momen-momen paling membahagiakan saat lamaran dan akad nikah, yang berlangsung secara sederhana dan berkesan tentunya.
Tahun berlalu, akhirnya baru berbagi foto kami saat jalan ke Ranu Kumbolo. Rencana nya sih cuman isi liburan, jalan-jalan sama beberapa teman kos saya di Vury-Jojoran Baru (Mbun, Temi, Bang Toyib). Bersamaan dengan itu saya dan istri (yg waktu itu masih calon hehe) berencana merit tahun depan, tapi konsep pre-wed belum ada dan memang gak masuk budget kami haha (dasarr!!). Setelah rapat terbatas, kami berdua sepakat untuk mengajak beberapa rekan Wanala yang bisa ‘operasiin’ kamera SLR ya tentunya butuh juga buat bawain logistik kami, maklum setelah lama gak olahraga, untuk bawa beban di punggung 20kg ke atas rada pikir-pikir.
Tibalah hari-H, kami berangkat menuju Tumpang menggunakan sepeda motor. Ya motor!! jangan heran, karena memang kami tidak punya budget khusus untuk pre-wed yang juga membutuhkan biaya jika dengan persiapan khusus dan menggunakan EO profesional. Setibanya di Tumpang, kami berganti truk haha, malah seru kan. Truk tersebut di isi kurang lebih 30 orang, kebetulan barengan sama pendaki lain. Dari Tumpang ke Ranu Pane membutuhkan waktu 3 jam karena ada perbaikan jalan di pertigaan jemplang, jadi untuk ke lokasi kami oper ojek motor.
Perijinan selesai di pos, kami pun mulai jalan. Jalur ke Kumbolo tidak terlalu berat, karena tanjakannya cukup ramah buat dengkul, tapi saran saya anda juga perlu menyiapkan tubuh agar lebih fit, karena perjalanan cukup jauh, kurang lebih 5-6 jam. Karena jalan sangat santai, saya dan istri malah 8 jam lebih hehe
Untuk sesi foto di lakukan keesokan harinya, sambil perjalanan kembali. Kami mengambil titik di sekitar danau. Dan bisa dibayangkan betapa kami berkostum kaos oblong dan tanpa make up, karena saya dan istri sepakat waktu itu gak pakai kostum khusus tapi pakai kaos yang dipakai jalan aja biar lebih natural :). Tapi kami cukup bisa bangga, karena jarang banget atau bahkan gak pernah ada acara pre-wed di Ranu Kumbolo ini he. Piss.
Dan inilah beberapa hasilnya :
Banyak terima kasih buat Rafi Ramadhan atas foto-fotonya, Shanti, Wicak, Mada, Mbun, Bang Toyib dan Temi yang telah menjadi teman perjalanan yang menyenangkan ini.
Setelah dari Alas Purwo, perjalanan kami lanjutkan ke Watu Dodol. Disana kami berdua sudah janjian dengan rekan lain untuk menyebrang ke pulau Menjangan dan pulau Tabuhan. Memasuki Ketapang sudah gelap, terlihat antrian kendaraan yang didominasi truk barang mengular kurang lebih 1Km untuk masuk pelabuhan dan menuju Bali.
Kebetulan kami janjian di warung dekat patung gandrung. Sesampainya di warung, saya langsung pesan es degan untuk melupakan haus sambil menunggu rekan saya Manu dan Catur yang mencari kapal untuk besok pagi. Rejeki kami kayaknya berada di warung ini, ternyata anak nya juga nelayan di kawasan tersebut, jadinya kami tinggal nego harga saja, dan deal di angka Rp 550.000,- untuk menyebrang ke menjangan + tabuhan dari watu dodol. Kami bermalam di rumah pemilik kapal (mas Mul) yang berdekatan dengan pantai.
Setelah bangun pagi, kami berangkat jam 08.00 dari rumah mas Mul dengan berjalan kaki. Bekal utama kami adalah air putih di dalam jerigen dan nasi bungkus, yang di bontotin istri mas Mul (terima kasih banyak). Rombongan ini terdiri dari saya dan istri, Catur, Danang, Amanu, Dini yang tidak lain adalah teman-teman semasa masih kuliah. Untuk guide sendiri adalah mas Mul, dan 2 temannya yang bertugas sebagai ‘sopir’ dan ‘jangkar boy’ he
Penyebrangan ini tidaklah seramai dari jalur Labuan Lalang, karena jarang yang menggunakan jasa kapal dari Watu Dodol untuk menuju pulau Menjangan. Ya karena jaraknya lebih jauh.
Perjalanan ke Menjangan sendiri menempuh waktu 1 jam, sesampainya di lokasi kami segera turun untuk mencari petugas tapi ternyata sepi tidak ada yang jaga. Akhirnya kami memutuskan untuk segera mencari tempat yang cocok untuk snorkeling. Air laut yang bening, membuat kami semua tidak sabar untuk segera melihat batu karang dan ikan-ikan yang terlihat warna-warni.
Tidak lama kemudian, ada 2 kapal lain yang meghampiri, yang ternyata petugas jaga yang sedang menemani tamu berkeliling. Dan kita pun ditegur karena tidak punya tiket masuk dan kapal yang kami tumpangi di anggap tidak terdaftar. Kami pun meminta maaf kepada petugas, atas kebijakan mereka kami pun masih boleh disini, dengan syarat tidak menurunkan jangkar dan dilarang memancing, karena kru kapal memang membawa peralatan untuk memancing. Kami akhirnya mengerti kenapa tidak boleh menurunkan jangkar, karena pengelola ingin menjaga terumbu karang agar tidak rusak oleh jangkar kapal maupun ikan-ikan dipancing secara sembarangan oleh nelayan.
Hanya 20 menit kami di sekitar menjangan, selanjutnya kami ke Pulau Tabuhan yang berjarak 1 jam juga dari pulau menjangan. Ditemani siang yang terik, di atas perahu kami makan siang bontotan sederhana yang berisi nasi, mie, telur yang walaupun sederhana tapi tetap nikmat karena mengobati lapar kami.
1 jam berlalu, ditemani ombak yang tenang dan keberuntungan karena ombak tidak sebesar biasanya kami sampai di pulau Tabuhan, yang ukurannya terbilang kecil, tetapi memiliki pemandangan yang masih alami dan pantai yang indah karena air yang jernih dan pasir yang putih. Pulau ini masuk kabupaten banyuwangi dan menjadi tempat yang belum dikelola dengan baik, karena minimnya fasilitas dan informasi mengenai tempat ini. Kami menjadi beruntung karena menjadi salah satu penikmat pulau, karena belum banyak wisatawan yang kesini.
Pantai ini menawarkan spot snorkeling yang banyak dan perawannya hutan kecil ditengah-tengahnya, terdapat pula mercusuar disini. Kami mencoba untuk mengelilingi pulau, dan 30 menit adalah waktu yang dibutuhkan untuk jalan kaki berkeliling penuh. Sayang ada sampah yang berserakan di pantai, mungkin dari kapal penumpang, atau Banyuwangi bahkan dari Bali yang terbawa arus laut. Selanjutnya kami menikmati pulau ini dengan snorkeling sepuasnya sampai sore jam 3. Tidak pernah bosen dan capek, karena masih bagus terumbu karangnya serta ikan-ikan yang ada. Dari sini kita juga bisa melihat Baluran, Ketapang, Bali Barat bahkan kapal-kapal besar di kejauhan yang sedang sandar untuk muat/bongkar barang. Puas main air dan menikmati pantai, kami kembali ke Watu Dodol. Berjarak hanya 30 menit kalau dari sini.
Yup, edisi ke Tabuhan adalah yang penghujung bikepacking saya dan istri serta rekan yang lain, dimana sebelumnya mereka camping di slenggrong/teluk banyu biru yang berlokasi di alas purwo.
Saya pamitan dulu karena biar gak kemalaman di jalanan alas Baluran yang pastinya bahaya kalau berkendara motor malam disana. Rekan saya yang lain rencananya balik pakai bis/travel ke Surabaya. Selama perjalanan pulang ke Surabaya, saya berhenti lama di SPBU Kraksaan Probolinggo untuk tidur malam. Sungguh melelahkan perjalanan malam hari kami, sangat sepi terutama saat masuk pasir putih-paiton, kami cemas juga jika ada perampok kendaraan bermotor, teman kami perjalanan hanya bis dan mobil pribadi. Masuk Pasuruan, kami juga istirahat cukup lama hingga fajar datang, kami sempatkan mampir nasi punel Bangil untuk isi perut sebelum lanjut ke Surabaya.